Putusan
Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal
17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai
kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut
resmi menjadi milik Malaysia.Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya
satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara
sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang
terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah
masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah
air.
KONDISI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA
Ada hal yang menggelitik dari peristiwa ini, mengapa kita kalah
begitu telak, padahal perkiraan para pemerhati atas putusan ICJ “fifty-fifty”,
karena dasar-dasar hukum, peta dan bukti-bukti lain yang disiapkan oleh kedua
pihak relatif berimbang. Dari penjelasan yang di “release” mass media, ternyata
ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai
status kedua Pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang
disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian
lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology
preservation”. Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat
sepakat menyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia
karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya
Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.
Sia-sialah perjuangan Indonesia selama belasan tahun kita memperjuangkan
kedua pulau tersebut kedalam wilayah Yurisdiksi kedaulatan NKRI, ini akibat
dari kekurang-seriusan kita dalam memperjuangkannya, itulah komentar-komentar
yang muncul. Benarkah birokrat kita kurang serius penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan pulau
Ligitan.
.Pada pertemuan tgl.
6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui
rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Spesial
Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute
between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and
Pulau. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke
Mahkamah International pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di MI/ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua
pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.
memperjuangkan pemilikan dua pulau tersebut ?Dari
rangkaian panjang upaya yang dilakukan rasanya perjuangan kita cukup serius.
Putusan MI sudah final dan bersifat mengikat sehingga tidak ada peluang lagi
bagi Indonesia untuk mengubah putusan tersebut. Tidak patut lagi kekalahan ini
harus diratapi, yang terpenting bagaimana kita mengambil pelajaran untuk ke
depan jangan sampai kecolongan lagi untuk ketiga kalinya.Sekilas mengenai
proses kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim
Teknis Landas Kontingen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar
kedua Negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai
bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada
peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim
Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk
mengukuhkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta
historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut.
Disaat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya
dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak
untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”.Dua
puluh tahun kemudian (1989), masalah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan baru dibicarakan
kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.Tiga tahun kemudian
(1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang
diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat
tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama
(Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG).Namun dari serangkaian
pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak
berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi
kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk
Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan
kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di
Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan
Namun demikian kedua Negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “
Written pleading “ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti,
“Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001.
Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3 –12 Juni
2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia
membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi
terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM,
Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut
International.
Indonesia mengangkat
“co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda.
Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International
Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ
ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan
dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp.
16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar
pengacara. Dengan demikian tidak tepat bila dikatakan pihak Indonesia tidak
serius memperjuangkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Marine Cadastre adalah pengadministrasian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, termasuk semua kepentingan, hak, batasan, dan kewajiban yang ada di wilayah itu. Pengadministrasian wilayah di sini tentu saja diawali dengan penamaan, pengukuran, dan pemetaan wilayah termasuk penetapan batas-batasnya serta mencatat dan membukukannya dalam daftar-daftar dan buku-buku resmi kemudian mempublikasikan hasil-hasilnya. Meskipun marine cadastre bukan peranti penetapan batas atau yurisdiksi internasional suatu negara, namun melalui publikasi marine cadastre setiap klaim atau persengketaan batas dapat segera diketahui. Bahkan telah diatur tentang kewajiban masing-masing negara pulau dan kepulauan adalah menyerahkan peta-peta batas wilayah teritorial, ZEE, dan landas kontinen kepada Sekretaris Jenderal PBB dengan koordinat-koordinatnya. Apabila kita telah melaksanakan marine cadastre, tentu banyak konflik dan sengketa, khususnya sengketa batas, dapat dihindari seperti kasus ambalat dan pulau-pulau lainnya yang rawan persengketaan.
wilayah Indonesia yang merupakan negara
kepulauan dapat dilihat secara Historis dan Yuridis Formal, yaitu:
(A) Ordonansi
Tahun 1939
Dilihat dari sejarahnya, dalam UUD 45 tidak menentukan
batas-batas wilayah Republik Indonesia melainkan hanya tercantum ”Segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Dengan demikian,
ketentuan Ordonansi 1939 (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie
1939), tentang batas-batas laut wilayah masih berlaku, yaitu lebar laut wilayah
Republik Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air rendah di pantai
masing-masing pulau Indonesia. Asas tersebut sesuai dengan Hukum Laut
Internasional sampai tahun 1951.
.(B) Deklarasi
Juanda 1957
Pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia mengeluarkan
pengumuman mengenai wilayah perairan Republik Indonesia yang dikenal sebagai
Deklarasi Juanda, menyatakan:
a.) Segala
perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian
pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak
memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah
daratan negara Republik Indonesia, dan merupakan bagian dari perairan nasional
yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia.
b.) Batas lautan
teritorial lebarnya 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan
titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
Untuk memperkuat kekuatan hukumnya,
Deklarasi Juanda dipertegas dengan PERPU No.4 Th 1960 diikuti peraturan
pelaksanaan lalulintas damai kendaraan laut asing dengan PP no.8 Th 1962.
Selain itu Pemerintah Indonesia juga merasa perlu untuk mengadakan perjanjian
perbatasankontinental dengan
pemerintah negara lain agar penyelesaian sengketa lebih mudah sebelum
ditemukannya deposit mineral yang berharga. Antara lain : RI – Malaysia 27
Oktober 1969 (selat Malaka dan laut Cina selatan), RI – Thailand 17 Desember
1971 (selat malaka Utara), RI – Malaysia – Thailand (landas kontinen utara) 21
Desember 1971, RI – Australia ( laut Arafuru, pantai selatan Irian Jaya, dan
pantai utara Irian Jaya ) 18 Mei 1971, RI – Australia ( laut Arafuru dan laut
Timor ) 9 Oktober1972, RI – India ( Sumetera – Nicobar )
8 Agustus 1974.
c.) Landasan
Kontinen Indonesia 1969
Pemerintah Indonesia tanggal 17 Februari 1969 mengumumkan
tentang landasan kontinen Indonesia sampai kedalaman laut 200 m. Konsep ini
lebih banyak sebagai konsep politik dan ketatanegaraan, yang didasarkan atas
konsep kewilayahan nasional tahun 1957.
d.) Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia 1980 (ZZEI)
Pemerintah Indonesia mengumumkan tentang ZZEI, tanggal 21 Maret
1980, yang menyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selebar 200 mil
diukur dari garis pangkal wilayah laut negara Indonesia.
e. ) Konvensi
Hukum Laut 1982
Konvensi Hukum Laut ke III di New York, memberi perluasan
yurisdiksi negara-negara pantai di lautan bebas. Dengan demikan ZEEI dapat
diakui oleh asas hukum internasional.
A.Karakteristik dan arti penting ekosistem pantai
Garis besar karakteristik
ekosistem pantai, yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dan
pengelolaan ekosistem pantai. Karakteristik ekosistem yang dimaksud meliputi :
pemintakatan ekosistem pantai, sifat umum, arti penting ekosistem pantai,
faktor yang mempengaruhi ekosistem pantai, dan bentuk lahan asal marin. Rincian
lebih lanjut dari ekosistem pantai adalah sebagai berikut:
1. Mintakat wilayah pantai :
a. Arah ke darat : batas pengaruh pasan
surut; vegetasi suka air; intrusi air laut ke dalam air tanah ; konsentrasi
ekosistem bahari;
b. Arah laut : garis pecahn gelombang;
pengaruh ativitas manusia di darat (Bakosurtaal,1990)
2. Sifat umum;
a. Dinamik dan unik
b. Biodiversitas tinggi
c. Marginal untuk penggunaan tertentu (Heather Viles dan Tom
Spencer. 1995, Clrk, 1974).
3. Arti penting ekosistem pantai
a. Pesumber wilayah: yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat
diperbarui;
b. Konsentrasi aktivitas penduduk : perikanan, transportasi
kompleks industri, permukiman, tempat rekreasi dan tempat pembuangan limbah
4. Faktor yang mempengaruhi ekositem
pantai
a. Konfigurasi dasar
b. Dinamika air laut
c. Suhu air lut
d. Salinitas
B.Contoh Kasus tentang ”Marine Cadastre”
Peranan Marine Cadastre Dalam Mengatasi Masalah Ambalat dan Wilayah Rawan
Sengketa
Sengketa perairan dengan negeri jiran Malaysia kembali terjadi. Setelah
pulau Sipadan dan Ligitan jatuh ke Malaysia, kini Malaysia mengklaim blok
Ambalat sebagai milik mereka. Ambalat adalah sebuah blok yang kaya akan sumber
daya minyak. Ambalat diklaim oleh pihak Malaysia setelah pengadilan
Internasional memberikan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. Yang unik
adalah pengadilan Internasional membuat keputusan tersebut karena pihak
Malaysia terlihat ’serius’ untuk memiliki Sipadan dan Ligitan. Sedangkan
Indonesia sendiri sudah ’serius’ mengelola blok Ambalat sejak tahun 80-an tanpa
ada protes dari pihak Malaysia.
Indonesia sudah memperhitungkan bila ternyata Malaysia mengklaim
menggunakan 12 mil. Maka dari itu, sebenarnya tidak akan tumpang tindih. Tetapi
yang terjadi ternyata Malaysia tidak mengukur turun lurus tapi diagonal. Malaysia
mengambil blok N-D 6 dan N-D 7. N-D 6 sebagian tumpang tindih dengan Blok
Ambalat dan Blok East Ambalat yang dikelola Unocal. Kontrak itu telah
disepakati pada akhir September 2004, sedangkan Shell baru masuk lewat Petronas
Carigali.Blok N-D 6 dikelola Shell dan N-D 7 dikelola Petronas Carigali. ESDM
sudah tahu bahwa itu wilayah teritori Indonesia. Maka kontrak East Ambalat
diberikan ke Unocal. “Dan ambalat berikan ke ENI yang sudah mengebor. Lebih
lanjut pada tahun 1999 Blok Ambalat sudah ditangani Shell. Pada tahun 2001
diambil alih ENI (Italia) sampai 2004 dan sudah melakukan pengeboran pada dua
sumur.
Wilayah NKRI sebagaimana telah ditetapkan kembali pada Peraturan Pemerintah
(PP) No. 38 tahun 2002 bahwa batas-batas wilayah Republik Indonesia untuk
daerah laut Sulawesi Selatan yang berbatasan dengan Malaysia setelah
perundingan Sipadan dan Ligitan adalah :
1. 04° 10'00"LU - 118°53'50"BT Titik dasar P. Ligitan TD 36C
2. 04° 08'03"LU - 118°53'01"BT Titik dasar P. Ligitan TD 36B
3. 04° 06'12"LU - 118°38'02"BT Titik dasar P. Ligitan TD
Hal ini menunjukkan bahwa garis lintang 04° 10'00"LU merupakan
garis batas NKRI dengan Malaysia. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka
penawaran wilayah kerja Blok East Ambalat masih berada di wilayah NKRI berdasarkan
garis batas negara baik lama maupun setelah diundangkannya PP No 38 tahun 2002.
Malaysia adalah negara pantai biasa, yang hanya boleh memakai garis
pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines)
jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Karena itu, Malaysia seharusnya tidak
menyentuh daerah itu karena ia hanya bisa menarik baselines Negara Bagian Sabah
dari daratan utamanya, bukan dari Pulau Sipadan atau Ligitan.
Jika Malaysia berargumentasi, "tiap pulau berhak mempunyai laut
teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya sendiri", maka
Pasal 121 UNCLOS 1982 dapat membenarkannya. Namun, rezim penetapan batas landas
kontinen mempunyai specific rule yang membuktikan keberadaan pulau-pulau yang
relatively small, socially and economically insignificant tidak akan dianggap
sebagai special circumstances dalam penentuan garis batas landas kontinen.
Beberapa yurisprudensi hukum internasional telah membuktikan dipakainya doktrin
itu.
Dengan demikian, yang perlu ditentukan kini adalah garis pangkal
masing-masing negara. Jika situasi di Ambalat memanas dengan telah
berhadap-hadapannya kapal perang dan pesawat tempur kedua negara, Malaysia
mengatakan semua bisa dirundingkan, maka itu hanya akan mencapai deadlock jika
Malaysia bersikukuh untuk dipakainya peta wilayahnya tahun 1979. Peta itu hanya
tindakan unilateral yang tidak mengikat Indonesia. Indonesia telah menolak
langsung peta itu sejak diterbitkan, karena penarikan baselines yang tidak
jelas landasan hukumnya.
Ambalat jelas di bagian selatan Laut Sulawesi dan masuk wilayah Indonesia.
Jika kedua negara tetap dalam posisi berlawanan, maka untuk mencegah konflik
bersenjata, jalan keluar yang harus ditempuh adalah duduk dalam perundingan
garis batas landas kontinen kedua negara, yang sekaligus berarti menyelesaikan
kasus Ambalat dengan menerapkan prinsip equitable solution, seperti digariskan
UNCLOS 1982.
Indonesia telah berkali-kali mengajak Malaysia duduk di meja perundingan
mengenai batas landas kontinen, namun tak ada respons positif. Kini tingkat
kesabaran rakyat Indonesia sedang diuji, kasus tenaga kerja Indonesia (TKI),
kasus illegal logging, dan konflik Ambalat membawa pandangan negatif tentang
Malaysia. Keberadaan TNI Angkatan Laut dapat dibenarkan karena tiap negara
harus menjaga kedaulatan negaranya di daerah yang diyakini sebagai wilayahnya.
Sampai saat ini belum ada penyelesaian yang jelas, walaupun pembicaraan antara
Indonesia dan Malaysia sudah dilakukan. Persoalan Ambalat cukup memberi
pelajaran bagi pemerintah Indonesia dalam mempertahankan wilayah negara
kesatuannya. Mengapa demikian? Kita dapat melihat hal tersebut dari sejauh mana
aparatur negara yang berwenang dalam mengamankan pulau-pulau yang berbatasan
dengan negara tetangga.Namun, Indonesia memiliki keterbatasan dalam kekuatan
angkatan laut yang tidak sebanding dengan luas wilayah yang harus diamankan.
Sebagai rakyat Indonesia kita juga harus menanggapi masalah ini secara arif
dan kepala dingin. Jika jalan menuju kesepakatan masih ada, konvrontasi tak
perlu dilakukan. Kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan, dan kini masalah kawasan Ambalat,
mestinya menyadarkan Indonesia memperhatikan pulau-pulaunya. Pulau dapat hilang
bila si pemilik tidak menjaganya. Kolonel Laut Drs. Dede Yuliadi.dkk , mengatakan
dalam bukunya “Posisi Strategis Pulau-Pulau Kecil di Wilayah Perbatasan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”, ada empat kriteria pulau dinyatakan
hilang. Dan parahnya, Indonesia memiliki resiko kehilangan pulau dari empat
kriteria tersebut.
Kriteria pertama adalah hilang secara fisik, biasanya
terjadi akibat proses geologis atau ulah manusia yang dapat menenggelamkan
sebuah pulau. Contohnya adalah Pulau Nipa yang hampir tenggelam akibat
penambangan pasir berlebihan di perairan Riau. Kriteria kedua adalah hilang secara kepemilikan. Status
kepemilikannya berubah karena pemaksaan kekuatan militer maupun melalui proses
hukum. Kekuatan militer telah memberi kepemilikan Pulau Falkland kepada Inggris
ketika Argentina mengakuinya. Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari kepemilikan
Indonesia ke Malaysia melalui jalur hukum. Kini kawasan Ambalat menjadi
sengketa antar Malaysia dan Indonesia. Ketiga, hilang secara pengawasan. Dengan
jumlah yang mencapai lebih dari 18.000 pulau, sebuah pulau dapat luput dari
pengawasan pemerintah, terlebih bila posisinya dekat ke negara lain. Tanpa
pengawasan, pulau-pulau tersebut dimanfaatkan masyarakat atau pemerintah negara
yang berbatasan untuk berbagai kegiatan, misalnya pariwisata, perikanan,
perkebunan bahkan pembangunan secara fisik. Pulau Batek di perbatasan RI dan
Timor Leste merupakan contoh pulau yang memiliki kerawanan tersebut. Bila tidak
diawasi atau dicegah, kedatangan aparat Timor Leste ke pulau tersebut semakin
meningkat dan menjadi “alasan pembenar” status kepemilikannya. Keempat,hilang secara sosial dan ekonomi. Hal ini biasanya oleh praktek ekonomi masyarakat di pulau tersebut,
diikuti interaksi sosial (perkawinan) dari generasi ke generasi, hingga terjadi
perubahan struktur ekonomi maupun struktur populasi penduduk. Sebagai contoh,
pendatang Philipina perlahan merubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat
Pulau Marore dan Pulau Miangas di Kepulauan Sangihe-Talaud. Secara kebangsaan
mereka menjadi warga negara Indonesia, namun sosial ekonominya “tidak berbeda”
dengan warga negara Philipina. Pada suatu saat, bila disuruh memilih, besar
kemungkinan mereka akan memilih bergabung dengan Philipina daripada menjadi
bagian NKRI. Hal ini disebabkan oleh rasio penduduk asli lebih kecil daripada
pendatang, ditambah kedekatan psikologis (ikatan keluarga turun temurun) dan
ekonomis (kegiatan ekonomi didominasi barang dan mata uang Philipina). Kasus
seperti ini tidak hanya terjadi di pulau-pulau terluar, namun terjadi pula di
perbatasan darat seperti di Kalimantan.
Disinilah letak peranan Marine Cadastre. Marine Cadastre adalah pengadministrasian wilayah pesisir, pulau-pulau
kecil dan lautan, termasuk semua kepentingan, hak, batasan, dan kewajiban yang
ada di wilayah itu. Pengadministrasian wilayah di sini tentu saja diawali
dengan penamaan, pengukuran, dan pemetaan wilayah termasuk penetapan
batas-batasnya serta mencatat dan membukukannya dalam daftar-daftar dan
buku-buku resmi kemudian memublikasikan hasil-hasilnya. Meskipun marine
cadastre bukan peranti penetapan batas atau yurisdiksi internasional suatu
negara, namun melalui publikasi marine cadastre setiap klaim atau persengketaan
batas dapat segera diketahui. Bahkan telah diatur tentang kewajiban
masing-masing negara pulau dan kepulauan adalah menyerahkan peta-peta batas
wilayah teritorial, ZEE, dan landas kontinen kepada Sekretaris Jenderal PBB
dengan koordinat-koordinatnya. Apabila kita telah melaksanakan marine cadastre,
tentu banyak konflik dan sengketa, khususnya sengketa batas, dapat dihindari
seperti kasus ambalat dan pulau-pulau lainnya yang rawan persengketaan.
C.Kontribusi Geografi Dalam Pengelolaan Ekosistem Pantai Pulau Kecil dan Laut
Sejalan dengan pokok kajian geografi yang
menekankan pada data spasial tentang karakteristik ekosistem pantai dan pulau
kecil menjadi kontribusi utama dari geografi. Analisis ekologis dan kewilayahan
terhadap data spasial tersebut menghasilkan kajian yang berorientasi
pengelolaan yang wawasan lingungan.
1. Data spasial
a. Karakteristik dan potensi sumberdaya
alam air, lahan, mineral
tambang, pertanian, perikanan.
b. Potensi sumberdaya manusia
c. Permasalahan lingkungan: erosi/ abarasi,
deposisi dan polusi
d. Potensi sumberdaya binaan
e. Kerawanan bencana alam yang mungkin
terjadi
2. Analisis ekologi
a. Perubahan ekosistem akibat ekosistem
manusia
b. Perubahan sosial ekonomi akibat gangguan
lingkunga ekosistem
c. Pengaruh penggunaan lahan di daerah atas
terhadap ekosistem pantai
d. Analisi enteraksi, sebab akibat antara
komponnen lingkungan fisik dan ekosistem pantai.
3. Analisis kompleks
wilayah
a. Menentukan pola agihan dari pulau-pulau
kecil dan lautan
Pemintakatan ekosistem pantai, pulau kecil
dan lautan
b.Keterkaitan antara satuan ekosistem
terhadap yang lain; keterkaitan antara pulau-pulau kecil, keterkaitan mintakat
kecil, keterkaitan mintakat ekosistem satu terhadap yang lain.
4. Sintesis
geografis
a. Rekomendasi pemecahan masalah lingkungan
b. Strategi pengembangan
c. Rekomendasi alternatif pengelolaan
ekosistem pantai, pulau kecil dan laut.
D.Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi(SIG)
Untuk mendukung perencanaan
terpadu, perlu dilakukan digitasi data dan diolah kedalam peta tematik dan peta yang ditumpang susun. Hal ini dapat dibuat dengan
meggunakan Sistem Informasi Geografi, berbagai pihak sektoral swasta dan Pemda
yang merencanakan sesuatu, dapat dipetakan dan diintregasikan untuk mengetahui
pilihan-pilihan managemen dan alternatif perencanan yang paling optimal.
Kombinasi sektor atau kegiatan yang sinergis dan mempunyai keunggulan
komparatif secara ekonomis tetapi dampak lingkungannya minimal dapat
ditampilkan, sihingga Bappeda dapat dapat menyeleksi sektor mana kegiatan yang
paling layak dan tidak layak dilaukukan.
a. Pengembangan
Sumberdaya Manusia
Penggunaan
teknologi tinggi dalam perencanan terpadu ini nampaknya baru dalam tahap
permulaan, karena disadari bahwasumberdaya manusia khuusnya di Daerah tingkat I
dan II masih terbatas. Untuk itu diperlukan pelatihan yang sistematis dan
berjenjang, sehingga aparat-aparat daerah dan pusat dapat mengembangkan Siatem
Informasi Geografis ini dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir
dan lautan. Beberapa pelatihan khusus diperlukan antara lain tentang :
IntregratedCoastal Zone Planning and managment, computer Tecnologi, GIS Remote
Sensing Ekosistem Terumbu karang, pandang lamun dan mangrove. Pengembangan
sumberdaya ini dibutuhkan untuk membentuk aparat daerah yang mampu menguasai
perencanaan makro dengan berbagai pertimbangan sisoal ekonomi dan lingkungan
dan menyusun pilihan-pilihan manageman yang sinergis dan komparatif.
b. Monitoring
Untuk
menghindari dampak, baik alami maupun buatan, perlu adanya instansi yang
bertanggung jawab melakukan monitoring antar lain tingginya psang surut air
laut dan perkembangan kehidupan sumber daya hayati laut dan pesisir. Data
tersebut dapat memberikan prakiraan sifat-sifat gelombang permukan air laut
sehingga dampak tsunami dapat dihindarai seperti yang belum lama telah terjadi
di Aceh dapat dihindarkan. Monitoring juga diperlukan untuk mengetahui dampak
tumpahan minyak yang terjadi di jalur pelayaran seperti Selat Malak, makasar
dan Lombok. Bila tumpahan terjadi tindakan apa yang harus segera dilakukan,
siapa yan mengkoordinasikan penanggulangannya, dan siapa yang mengajukan klaim
atas kerugian yang ditimbulkannya, dendaknya sudah jelas. Termasuk kasus blok
Ambalat.
c. Pengembangan
Kelembagan (Instittutional Strengthening)
Kelembagaan ini
dapat diartikan dalam dua bagian :
o pertama, kelembagaan sebagai institut yaitu, lembaga\organisasi berbadan hukm
untuk mengelola suatu kegiatan.
o Kedua, pelembagaan nilai-nilai atau institutionolized.
Kelembagaan sebagai institut dikembankan melalui tiga aspek yaitu :
o Pertama, peningkatan kemampuan aparatur yang bekerja di lembaga tersebut, dan
mobilisasi tenaga untuk bekerja dilembaga tersebut.
o Kedua, menyediakan fasilitas ruang kantor, peralatan, dan bahan serta
fasilitas lainya untuk mengoperasikan lembaga tersebut
o Ketiga, adalah penyediaan
dana operasional dan pemeliharaan
serta pembangunan untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut.
Pelembagan nilai-nilai, dikembangkan dengan memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembag tersebut kemasyarakat yang menjadi target atau pengguna jasa lembaga tersebut. Nilai-nilai yang dilembagakan bisa berupa peraturan prundang undangan, peraturan daerah; tataruang wilayah pesisir dan lautan. pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir dengan wwasn pembanguna yang berkelanjutan
serta pembangunan untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut.
Pelembagan nilai-nilai, dikembangkan dengan memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembag tersebut kemasyarakat yang menjadi target atau pengguna jasa lembaga tersebut. Nilai-nilai yang dilembagakan bisa berupa peraturan prundang undangan, peraturan daerah; tataruang wilayah pesisir dan lautan. pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir dengan wwasn pembanguna yang berkelanjutan
Strategi pengembangan wilayah pantai secara berkelanjutan pada dasarnya
merupakan strategi pembangunan yang mengacu pada waktu ambang batas yang luwes
pada laju pemanfaatan ekosistem alami, serta sumberdaya alam yang ada di
dalamnya. Ambang batas ini dituntaskan oleh kemampuan biosfer menerima/limbah
dampak kegiatan manusia. Sehingga dengan kata lain pembangunan berkelanjutan
adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alami yang sedimikian rupa sehingga
kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak
rusak. Dalam hubungan tersebut maka dalam pelaksananya perlu diturunkan lewat
pengertian ekologis, yang selanjutnya ditafsirkan melalui pengertian dalam
konsep sosial ekonomis, dan kemudian diterjemahkan kedalam dimensi kelembagaan
dan hukum/ etis yang diperlukan.
A.DIMENSI EKOLGIS
Setiap ekosstem
alami termasuk wilayah pantai/pesisir, memiliki empat fungsi pokok bagi
manusia, yaitu :
1.fungsi mengatur
2.fungsi
mendukung
3.fungsi
melakukan produksi
4.fungsi
memberikan informasi
Ke-4 fungsi tadi
saling mengkait satu dengan yang lainya, dan hanya bisa berlangsung bila syarat
berikut dipenuhi:
1) ada keharmonisan
spasial;
2) kapasitas
berasimilasi terjaga
3) pemanfaatan yang
dilakukan tidak melampui daya produsinya.
Keharmonisan spasial merupakan persyaratan dimana semua kegiatan yang
dilakukan saling mendukung. Karena itu suatu metode atau zoning/ peruntukan
ruang perlu dilakukan.jadi penting kiranya untuk menetapkan zona preservasi
(tidak boleh ada kegiatan); zona konservasi (kegiatanterbatas), Zona
pemanfaatan/ peruntukan. Zona konservasi dan preservasi penting untuk
memelihara terjadinya proses-proses alami, seperti : daur hidrologi, daur unsur
hara dan asimilasinya. luas zona ini disarankan berkisar antara 30% - 50% total
keluasan ekosistem yang ada, disesuaikan dengan kondisi biofisik kimianya. Zona
pemanfaatan adalah zona di mana seluruh kegiatan pembangunan ditempatkan. Baik
pembangunan pelabuhan, industri, perikanan, pertanian dan lain-lain. Penempatan
setiap kegiatan perlu berada dalam zona pemanfaatan, dan
hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik dan kimiawi sesuai dalm
zona tersebut, sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis (saling
mendukung). Pemanfaatan sumberdaya terbarui dalam satu satuan waktu perlu
lebiuh kecil dari kemampuanya berproduksi pada kemampuannya berproduksi pada
satuan waktu yang sama. Sedangkan pemanfaatan sumberdaya tak terbarui perlu
demikian sehingga efektif tidak merusak lingkungannya B. DIMENSI SOSIAL EKONOMI
Pemilihan alternatif pembangunan dilakukan dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah, serta kondisi dengan dan tanpa pembangunan dari berbagai pembangunan yang ditinjau. Alternaif yang dipilih adalah yang paling cepat mengembalikan investasi, atau yang perbandingan antara keuntungan terhadap biayanya tinggi. Akan ttapi untuk menjamin suatu pembangunan yang berkelanjutan, maka masalah lingkunngan yang terjadi perlu dipertimbangkan, dalam waktu dan ruang. Bisanya dievaluasi lewat dampak yang mungkin terjadi diaanggap sebagai suatu eksternalitas artiya pihak yang membuat kerusakan. Dalam pola pikir ini maka resiko perusahaan juga dianggap bisa ditanggunng pada pihak penderita, dalam pengertian bahwa kondisi lingkungan yang diinginkan adalah fungsi dari kondisi awal, modal awal, dan modal untuk pemeliharaan. Perlu diingat bahwa porioritas adalah bagi masyarakat miskin dikawasan pantai kerena perusakan lingkungan yang terjadi, seperti penebangan mangrove dan penambangan terumbu karang adalah dilandsi oleh kebutuhan hidup yang paling dasar.
C. DIMENSI SOSIAL POLITIK
Pemilihan alternatif pembangunan dilakukan dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah, serta kondisi dengan dan tanpa pembangunan dari berbagai pembangunan yang ditinjau. Alternaif yang dipilih adalah yang paling cepat mengembalikan investasi, atau yang perbandingan antara keuntungan terhadap biayanya tinggi. Akan ttapi untuk menjamin suatu pembangunan yang berkelanjutan, maka masalah lingkunngan yang terjadi perlu dipertimbangkan, dalam waktu dan ruang. Bisanya dievaluasi lewat dampak yang mungkin terjadi diaanggap sebagai suatu eksternalitas artiya pihak yang membuat kerusakan. Dalam pola pikir ini maka resiko perusahaan juga dianggap bisa ditanggunng pada pihak penderita, dalam pengertian bahwa kondisi lingkungan yang diinginkan adalah fungsi dari kondisi awal, modal awal, dan modal untuk pemeliharaan. Perlu diingat bahwa porioritas adalah bagi masyarakat miskin dikawasan pantai kerena perusakan lingkungan yang terjadi, seperti penebangan mangrove dan penambangan terumbu karang adalah dilandsi oleh kebutuhan hidup yang paling dasar.
C. DIMENSI SOSIAL POLITIK
Dimensi ini
meninjau keamanan politis untuk melakukan pengaturan antar unsur yang terkait
dalam pembangunan wilayah pantai, supaya secara terpadu, sinergik sinkron
menunjang tercapainya tujuan pembangunan secara optimal. Konsep pengaturan
secara optimal konsep pengaturan dalam ilmu rekayasa melalui berbagai tahapan
kerja yang harus dilalui dalam pembangunan. Tahapan trsebut adalah:
1) Planing
2) Design
3) Implementasi
4) Operasi dan
pemeliharaan
5) Pemantauan\ kontrol disetiap tahapan pelaksanan.
Oleh karena menurut UUD 1945 pasal 33 ayat 2, seluruh sumberdaya alam
diatur oleh negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka seluruh
penggunaan/pembangunan sumberdaya alam baik yang dilakukan pemerintah sendiri,
maupun yang dilakukan maupun oleh swasta perlu melalui mekanisme perizinan dari
pemerintah mengingat bahwa setiap pembangunan dilakukan secaracbertahap, maka
perizinan diberikan sesuai dengan tahapannya. Lembaga yang terkait disini
adalah : Pemerintah, sebagai pemberi izin dan pemakrasa pembangunan : swasta,
masyarkat,dan individu sebagi pelaksana.
Dalam pembangunan, suatu keterbukaan informasi perlu dilakukan, sasaran
pembanganan, resiko, dan berbagai kemungkinan peran serta yang diperlukan.
Dengan cara ini maka pelksanaan pembangunan dan pern serta masyarakat dlam
pelaksanaan dan pemeliharan pembangunan akan dapat diharapkan.
D.DIMENSI HUKUM DAN ETIKA
Dimensi ini merupakan upaya meletakkan landasan dan sekaligus strategi pengaturan kerja agar etka kerja dan pelaksanaan kerja sesuai dengan pengaturan yang diperluan . dimensi ini sekaligus merupakan payung, batas kendali dan hukuman, sistem penghargaan dan sanksi perlu dengan jelas perlu dimengerti dan diterapkan agar pengaturan bisa berjalan dengan baik.
D.DIMENSI HUKUM DAN ETIKA
Dimensi ini merupakan upaya meletakkan landasan dan sekaligus strategi pengaturan kerja agar etka kerja dan pelaksanaan kerja sesuai dengan pengaturan yang diperluan . dimensi ini sekaligus merupakan payung, batas kendali dan hukuman, sistem penghargaan dan sanksi perlu dengan jelas perlu dimengerti dan diterapkan agar pengaturan bisa berjalan dengan baik.
Untuk melakukan hal di atas diperlukan hal sebagai berikut ini:
1)Informasi yang diperlukan bisa diketahui oleh semua pihak yang bersangkutan
secar akurat dan tepat waktu.
2)Pengaturan fungsi, hak dan kuwajiban dan wewenang setiap lembaga bisa terungkap
dengan jelas.
3)Standard, manual dan guidelines. Standard dapat diumpamakan sebagai suatu
sistem informasi yang mekanisme otomatis, sehingga suatu kondisi yang singkron
dan terpadu bisa didapatkan. Sedangkan manual dan guidelines bisa menuntun
pihak perencana agar dapat melakukan pekerjaan dengan benar disetiap tahapan
langkah penanganan kerja.
4)Pendidikan dan pelatihan merupakan upaya sadar dan terencana untuk
meningkatkan daya kognitif dan afektif serta aksiologis seseorang.
5)Research and
Development untuk mengembangkan ilmu rekayasaq pantai.
6) Pembentukan wadah
untuk tukar pengalaman dan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi pantai
d.Pengelolaan
sumberdaya Kelautan danWilayah pesisir Secar Terpadu
Sumberdaya laut dapat
sangat bermanfaat untuk meningkatkan devisa dan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Selama ini belum
terlihat adanya koordinasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir. masing-masing instansi dari
sektor-sektor pembangunan masih menyelesaikan tugasnya sesuai tugas departeman
masing-masing. Demikikian juga dalam hal penanganan masalah yang berkaitan
dengan sumber daya kelautan dan wilayah pesisir, masing-masing instansi masih
bekerja sendiri-endiri. Kalaupun ada koordinasi belum dapat dikatakan
menyeluruh dan sempurna. Guna mencapai koordinasi yang baik dan efektif, perlu
dibentuk suatu wadah untuk koordinasi tersebut. Misalnya badan koordinasi pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah
pesisir pantai.
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Marine Cadastre adalah pengadministrasian wilayah pesisir, pulau-pulau
kecil dan lautan, termasuk semua kepentingan, hak, batasan, dan kewajiban yang
ada di wilayah itu. Pengadministrasian wilayah di sini tentu saja diawali
dengan penamaan, pengukuran, dan pemetaan wilayah termasuk penetapan
batas-batasnya serta mencatat dan membukukannya dalam daftar-daftar dan
buku-buku resmi kemudian memublikasikan hasil-hasilnya. Meskipun marine
cadastre bukan peranti penetapan batas atau yurisdiksi internasional suatu
negara, namun melalui publikasi marine cadastre setiap klaim atau persengketaan
batas dapat segera diketahui. Bahkan telah diatur tentang kewajiban
masing-masing negara pulau dan kepulauan adalah menyerahkan peta-peta batas
wilayah teritorial, ZEE, dan landas kontinen kepada Sekretaris Jenderal PBB
dengan koordinat-koordinatnya.
Kasus Blok Ambalat, merupakan cerminan dari tidak tertatanya marine
cadastre seperti yang telah dijelaskan di atas. Terlepas bahwa itu masalah
sensitif yang jelas bagi saya pribadi mempertahankan keutuhan wilayah Republik
Indonesia adalah kewajiban kita semua. Perang adalah solusi terakhir, selama
jalur diplomatik dan jalan damai masih bisa ditempuh, tentu kita semua setuju
penyelesaian dengan cara yang damai, arif dan bijaksana. Namun yang pasti
sesuai prinsip wawasan nusantara, Indonesia telah melihat diri dan juga
lingkungannya dengan menghormati dan menjalankan ketentuan Internasional dan
telah berusaha memposisikan diri pada tempat yang benar.
Indonesia
berbatasan di darat dengan Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Larose. Proses
penegasan batas darat dengan Malaysia yang dilaksanakan sejak tahun 1975 yang
panjang mencapai lebih dari 2000 km, hampir selesai dilaksanakan ( teknis
dilapangan) oleh tim Teknis penegasan Batas Bersama (Joint Border Demarcation
Team).Penegasan batas dengan PNG telah berhasil menyelesaian pilar batas utama
(Monumen Meridian/MM). Dan sekarang dalam tahap perapatan pilar batas. Namun
dikarenakan berbagai kendala proses perapatan pilar batas ini sejak tahun 2000
berhenti. Sementara itu penegasan batas dengan Timor Larosae sudah dirintis
sejah pemerintahan pewakilan PBB (UNTAET) dan sekarang telah sampai pada tahap
survey penyelidikan lapangan (Joint Reconnaissance Surveys).Penegasan batas
wilayah negara di laut diwujudkan dengan cara menentukan angka koordinat
geografi yang digambar di atas peta laut, sebagai hasil kesepakatan bersama
melalui perundingan bilateral. Batas laut ini terdiri dari batas laut
wilayah/teritorial, batas landas kontinen dan batas zona ekonomi Ekslusif
(ZEE). Indonesia yang berbatasan di laut tidak kurang dengan 10 negara, baru
sebagian kecil saja batas lautnya yang telah ditegaskan antara lain dengan
Malaysia, Singapura, Australia, PNG, Thailand dan India. Hal itupun bersifat
parsial, belum secara
tuntas
menyelesaikan seluruh segmen batas dan jenis batas laut. Wilayah
perbatasan (Wiltas) darat antar RI dengan Malaysia, PNG dan Timor Larosae
terdiri dari daerah pegunungan, dengan konfigurasi medan yang berat/terjal,
bervegetasi hutan yang relatif rapat dengan penduduk sangat jarang. Kondisi
demikian dikarenakan pemerintah tidak menjadikan Wiltas sebagai prioritas dalam
program pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun Pemda. Selama lebih dari
30 tahun pemerintahan Orde Baru, Wiltas diposisikan sebagai daerah
pinggiran/periferal atau daerah belakang yang sering terabaikan. Dalam
pembangunannya, namun sumber daya alamnya, khususnya kayu dieksploitasi dengan
serampangan secara besar-besaran. Hal tersebut meninggalkan keprihatinan dan
luka hati yang dalam bagi penduduk Wiltas. Ironinya kerusakan hutan yang
terjadi sering ditimpakan kepada penduduk Wiltas. Akibatnya, penduduk Wiltas
yang semula sangat peduli dengan lingkungan (menyatu dengan alam) menjadi
berubah drastis.Mereka pada akhirnya mulai berkolusi dengan
para penjarah hutan tersebut. Mereka juga mulai berfikir dan bersikap
materialistis-konsumeris. Sementara itu sikap moral dan pengabdiannya terhadap
lingkungan mulai tergerus menipis. Orientasi penduduk Wiltas terutama anak-anak
mulai berubah. Setelah TV, Radio, Parabola masuk Wiltas, mereka mulai mengenal
budaya “jalan pintas” untuk menjadi kaya. Mereka banyak yang meninggalkan
kampungnya, me-ngubah mata pencarian dan berspekulasi di kota terdekat. Itulah
proses degradasi lingkungan dan komunitas Wiltas.Wilayah Perbatasan Laut (Wiltasla).
Kondisi Wiltasla lebih memprihatinkan lagi. Penduduk pulau–pulau perbatasan
laut seperti penduduk Kep. Sangir dan Talaud (Satal) di Sulawesi Utara,
kondisinya secara umum tidak bertambah maju. Bahkan jumlahnyapun malah
berkurang. Hal ini disebabkan kesulitan hidup karena lokasi geografi yang
terpencil dan faktor keganasan badai laut. Kaum muda di sini juga banyak yang
pindah ke daratan Sulawesi Utara. Hal yang hampir sama juga terjadi di P.
Miangas (Palmas), Kep Natuna dan pulau-pulau Wiltas lainnya.Sementara
itu, kekayaan laut Wiltasla banyak dirambah nelayan asing. Dengan kapal modern
dan peralatan yang canggih, mereka bebas berkeliaran di perairan Wiltasla kita
tanpa rasa takut, karena jarang aparat Kamla kita yang berpatroli di sana.
Sementara penduduk setempat tidak berdaya mengusir mereka. Bahkan penduduk
(sebagian) tidak merasa perlu mengusir para penjarah ikan itu, karena mereka
memberi manfaat bagi penduduk setempat. Sikap penduduk Wiltas yang demikian
tidak perlu dipersalahkan, karena mereka bodoh tidak tersentuh pemberdayaan
SDM, apatah lagi sikap Bela Negara..Upaya yang perlu
dilaksanakan.Untuk meningkatkan pengamanan di Wiltas,
maka harus dilakukan perkuatan atau peningkatan kemampuan secara sinergis
antara komunitas penduduk perbatasan dengan aparat Hankam di Wiltas.Persepsi,
strategi dan kebijakan pembangunan Wiltas seyogiannya diubah. Selama ini Wiltas
dipandang sebagai daerah pinggiran (periphery areas atau border areas). Kita
harus punya keberanian mengubah paradigma ini menjadikan Wiltas sebagai daerah
depan (frontier areas). Mengapa demikian, karena daerah ini langsung
bersentuhan dengan luar negeri. Bagi pihak asing (negara tetangga) kesan
pertama mereka atas Indonesia diperoleh dari kondisi lingkungan dan komunitas
penduduk perbatasan. Dengan demikian, Wiltas menjadi “Cermin” Indonesia.·
Beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk memberdayakan Wiltas.Merancang
konsep pembedayaan Wiltas secara terpadu baik fisik maupun non fisik (SDM)
sesuai potensi sumberdaya yang ada. Dalam konsep Bangwiltas terpadu ini
termasuk sektor Hankam Wiltas. Dalam hal ini, posisi penduduk sebagai subyek
pembangunan yang aktif. Setiap pembangunan dari masing-masing sektor
(Ipoleksosbud Hankam) harus dirancang untuk saling memberi manfaat. Pembangunan
dapat diawali dengan prasarana transportasi (jalan, terminal, bandara,
pelabuhan dll) yang dikonsep tidak saja untuk kegiatan sosial, ekonomi, budaya,
namun harus dapat dimanfaatkan untuk kemudahan operasiHankam.
Selanjutnya pembangunan ekonomi dengan memprioritaskan sumberdaya permukaan
(tanah dan hutan). Tidak ada salahnya kita berguru kepada Malaysia, bagaimana
mereka menata jaringan jalan dan perkebunan sawit serta hutan secara teratur
dan terkonsep yang sangat berbeda kenampakannya dengan Wiltas di Kalimantan
yang semraut.Prioritaskan penyelesaian penegasan batas
negara, termasuk pemetaan dalam skala yang memadai (Wiltasrat 1 ; 50.000 dan
Wiltasla 1 ; 250.000). Peta standar ini penting sebagai sarana operasi Hankam semua pelajaran yang dapat diambil.Ketika
pemerintah memutuskan jajak pendapat di Timor-Timor untuk menentukan apakah
rakyat Tim-Tim akan memilih tetap bergabung (Integrasi) NKRI atau merdeka,
tidak begitu banyak kalangan yang menentang karena di atas kertas pihak pro
integrasi diperkirakan akan menang, setidak-tidaknya fifty-fifty. Namun,
ternyata setelah jejak pendapat dilaksanakan, pihak pro integrasi kalah dengan
presentase secara menyolok (kurang lebih 23,5 %). Demikian pula dengan kasus P.
Sipadan dan P. Ligitan, perkiraan menang-kalah 50% – 50%, sehingga minimal P.
Sipadan masih bisa menjadi milik Indonesia kenyataannya, Indonesia kalah secara
meyakinkan.Dari dua kasus di
atas dapat diambil kesimpulan, pertama patut diduga bahwa dalam kedua kasus di
atas ada pihak ketiga yang
turut “bermain” untuk merugikan Indonesia. Kedua, sesuatu kebijakan yang
diambil pemerintah yang berdampak pada resiko kehilangan sebagian wilayah tanah
air harus dipertimbangkan dengan seksama melibatkan semua komponen bangsa,
bahkan kalau bisa, dihindari. Ketiga, mencermati pengambilan
putusan MI yang didasarkan pada kriteria “Continuous presence, dan effective
occupation” hal ini memberikan signal negatif dan preseden
buruk yang menuntut kehati-hatian dan kewaspadaan kedepan. Ada beberapa
pulau kecil terpencil yang secara posisi geografis kedudukannya lebih dekat
dengan negara tetangga yang diindikasikan memiliki keinginan memperluas
wilayah. Pulau-pulau tersebut antara lain, P. Nipah dan beberapa pulau Karang
tak berpenduduk yang berbatasan dengan Singapura. P. Rondo berbatasan dengan
Kepulauan Andaman (India), P. Miangas berbatasan dengan Philipina, P. Pasir
Putih berbatasan dengan Australia dan ada satu pulau kosong di Kalimantan Barat
yang dihuni nelayan Thailand. Negara-negara tetangga memiliki kesempatan
terbuka untuk menguasai pulau-pulau tersebut dengan menggunakan pendekatan
pembinaan Continuous Presence dan Effective Occupation. Selama ini penghidupan
penduduk pulau-pulau tersebut banyak bergantung kepada negara tetangga terutama
segi-ekonomi. Mereka juga lebih banyak menonton televisi dari siaran TV
Malaysia atau Singapura. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap kebudayaan dan
komitmen, hak dan kewajiban mereka selaku warga negara RI.
PENUTUP.
Demikian tulisan
ini dibuat sebagai sumbangan pendapat dan bahan masukan perbicangan lebih jauh
tentang pemberdayaan Wiltas, khususnya di bidang Hankam Wiltas.
Daftar Pustaka :
1. Pustaka TNI,
Batas Laut Negara RI, Jakarta, 1999
2. Adi
Sumardiman, Ir, SH, Sipadan dan Ligitan, SK. Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002.
3. Frans B.
Workala, SPd, MM, Pengembangan, Sumber Kekayaan Alam Daerah Perbatasan Dalam
Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional, Taskap KSA X Lemhannas, Jakarta 2002
4. Hasjim Djalal,
Prof. DR, Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi ?, SK Kompas,
Jakarta, 13 Januari 2003.
5. Umar S.
Tarmansyah, Drs, Makna Fungsi Batas Negara Dalam Bingkai Pembinaan Daerah
Pertahanan, Karmil, Jakarta, 2000.
6. Umar S.
tarmansyah, Drs, Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh Untuk Pertahanan
Keamanan dan Pembangunan Nasional, Jakarta, 1998
7. SK. Kompas,
Sipadan-Ligitan, Ujian Kematangan Suatu Bangsa, Jakarta, 18 Desember 2002.
8. SK Kompas,
Sangir Bobol, Indonesia Terancam, Jakarta, 23 Desember 2002.
Kolonel Ctp Drs.
Umar S. Tarmansyah, Peneliti Puslitbang SDM Balitbang Dephan
SUMBANG SARAN UNTUK PEMERINTAH
Tingkatkan Operasi, pengamanan Wiltas secara
periodik, terkoordinasi, dan sekali–sekali kerjasama dengan Negara tetangga
sambil mensosialisasikan wilayah tanggung jawab masing-masing. Untuk mendukung
Pamwiltas ini dapat juga digunakan jasa Satelit dan penerbangan perintis lintas
zona perbatasan misalnya : Dari Pontianak ke Kota Kinabalu (Malaysia) dan dari
Jaya Pura ke Port Moresby (PNG).
Pemberian subsidi yang memadai untuk aparat dan pegawai negeri serta
masyarakat Wiltas. Tanpa subsidi hidup di Wiltas terasa sangat berat karena
biaya hidup di sana sangat mahal. Seharusnya subsidi yang diberikan di Wilayah
Satal, Natuna, Miangas lebih besar dari pada yang bertugas/yang tinggal di
Irian/Papua. Untuk masyarakat, subsidi hendaknya diprioritaskan untuk sektor
pendidikan, pangan pokok, kesehatan dan modal usaha kecil